Keseharian
Bocah Nursaka, Sekolah di Indonesia lalu Bantu Ayah Cari Kaleng Bekas di
Malaysia
“Kalau
kamu mau jadi orang, kamu harus belajar yang rajin, jangan malas, harus
sekolah, supaya enggak seperti bapakmu ini...” Kalimat itu terlontar dari
Darsono, pria kelahiran Banyuwangi tahun 1965, saat menasehati putra
pertamanya, Nursaka, sore itu. Dialah yang selalu memberi motivasi kepada sang
anak untuk meraih cita-cita di masa mendatang. Setiap pagi, Darsono selalu
membantu Saka, panggilan putra pertamanya yang baru berusia 8 tahun itu, untuk
mempersiapkan segala sesuatu sebelum mengantar dan menemaninya hingga mendapat
tumpangan menuju border perbatasan Indonesia-Malaysia.
Darsono
memboyong istrinya ke Tebedu sejak Nursaka lahir. Sebelumnya, keluarga ini
tinggal dan memiliki usaha rumah makan di daerah Entikong. Tempat usahanya itu
menumpang di rumah milik saudara Darsono. Namun, usaha mereka tak berlangsung
lama karena bangkrut akibat bon utang dari pelanggan yang membuat perputaran
modal usaha menjadi terhambat.
Rumah
yang ditempati Darsono memiliki ukuran sekitar 8x6 meter dengan 4 ruang di
dalamnya. Dua ruangan difungsikan sebagai kamar, satu ruangan untuk ruang
keluarga, sementara satu ruang lainnya difungsikan untuk dapur dan kamar mandi.
Di situ mereka tidak dikenakan sewa rumah. Mereka hanya perlu membayar tagihan
listrik dan air. Di belakang rumah deret itu, terhampar kebun dengan luas
sekitar setengah hektar yang menjadi mata pencaharian Darsono sehari-hari.
Tanah itu milik adiknya, yang dia pinjam secara gratis untuk digarap. Aneka
tanaman sayuran seperti cabe, terong, kacang, dan sayuran lainnya ada di kebun
yang memiliki kontur berbukit itu.
Selain
berkebun, Darsono juga memelihara ternak seperti ayam, bebek dan kelinci. Dari
hasil menjual hasil kebun itulah, Darsono menghidupi keluarga dan membiayai
anaknya sekolah. Saka mulai bersekolah di Entikong sejak TK. Saat itu, setiap
hari Darsono dan istrinya, Julini, bergantian menemani anaknya berangkat
hingga pulang sekolah bolak-balik melintasi perbatasan. Mereka menyekolahkan
Saka di Entikong karena kemudahan untuk mendapatkan akses pendidikan seperti
warga Indonesia lainnya. Pasalnya, banyak syarat khusus yang harus dipenuhi
untuk menyekolahkan Nursaka di Tebedu daripada di Tanah Air. “Waktu itu Saka
masih kecil, baru 5 tahun, gak berani dilepas sendirian, takut kenapa-kenapa di
jalan. Maklum lah, anak masih belum tahu apa-apa kan,” ujar Darsono.
Mereka
lalu singgah di setiap tempat sampah yang ditemui untuk mencari kaleng bekas minuman.
Nursaka dan adiknya selalu bersemangat mengumpulkan kaleng-kaleng bekas itu.
Kaleng-kaleng itu nantinya akan dijual ke pengepul yang datang dari Kuching
setiap beberapa bulan sekali. Hasil dari penjualan kaleng itu kemudian ditabung
Nursaka di sebuah celengan plastik berbentuk ayam berwarna biru yang
dimilikinya sejak kecil.
Aktivitas
berkeliling dan mengumpulkan kaleng setiap sore merupakan salah satu upaya
Darsono supaya anaknya tidak jenuh di rumah. “Saya memberi motivasi kepada
anak-anak untuk mewujudkan keinginan mereka dengan cara menabung. Misalnya
mereka ingin membeli sesuatu, kayak sepeda atau lainnya, saya tanamkan semangat
menabung itu. Mereka pun semangat mengumpulkan kaleng-kaleng bekas itu,” ujar
Darsono
Saka merupakan sosok anak yang gemar menabung.
Setiap kali mendapatkan uang, entah itu dari hasil menjual kaleng atau diberi
oleh orang-orang seperti petugas imigrasi atau polisi yang mencarikannya
tumpangan untuk pulang saat di PLBN, uang itu selalu dia tabung. “Uangnya untuk
bantu biaya kuliah kakak. Nanti kalau kakak sudah kerja, bisa gantian biayai saya
sekolah,” ujar Saka polos. Pasalnya,
uang yang ditabungnya sejak usia dua tahun dalam celengan, pernah dibongkar dan
digunakan sang ayah untuk membantu biaya perkuliahan kakaknya yang berada di kabupaten Jember, Jawa
Timur.
Tak hanya mencari kaleng, Saka dan adiknya juga
selalu ikut membantu sang ayah di kebun belakang rumah mereka. Entah itu hanya
sekedar memberi makan ayam, memasukkan ayam ke dalam kandang saat sore tiba,
atau memberi makan kelinci dan mengumpulkan telur bebek. “Setiap hari ya begini
ini, kecuali hujan atau mereka sedang sakit,” ungkap Darsono. Setiap Saka tiba
di rumah pulang dari sekolah siang hari, sang ayah selalu menyuruhnya untuk
istirahat dan tidur siang. Untuk mengerjakan PR dari sekolah, biasanya
dilakukan Saka di sela menunggu tumpangan mobil di PLBN Entikong atau saat tiba
di rumah.
Keseharian
Nursaka yang tiap hari bolak-balik untuk bersekolah melintasi perbatasan
bukannya tak menjadi bahan pemikiran bagi Darsono. Dia berharap, kelak apabila
sudah terkumpul uang dan bisa memiliki lahan di Entikong, bisa kembali ke
Indonesia dan pulang memboyong keluarganya. “Supaya tidak was-was lagi setiap
hari Saka berangkat ke sekolah ditumpangkan (menumpang) kendaraan orang menuju
PLBN Entikong. Kalau berangkat kita kenal orang yang ditumpangkan, tapi kalau
pulang sekolah kan dia sendiri, dicarikan tumpangan sama om-om (petugas
imigrasi dan polisi),” ungkap Darsono.
Apabila hingga pukul 02.00 waktu setempat Saka
belum tiba di rumah, maka sang ayah akan menyusulnya ke PLBN Entikong. “Saya
khawatir kalau sampai jam segitu dia belum pulang ke rumah, saya cari dan susul
sampai ketemu. Karena biasanya pukul 01.30 Saka sudah tiba di rumah,” ungkap Darsono.
Opini dan Saran Pribadi :
Opini : Menurut
saya, perbuatan dan perjuangan Nursaka sangat mulia, karena saka setelah pulang
sekolah langsung membantu pekerjaan ayahnya yang mengumpulkan kaleng-kaleng
bekas untuk dijual ke pengepul. Selain itu, saka juga meringankan perkerjaan
ayahnya dengan membantu ayahnya di kebun belakang rumahnya. Yang patut
diapresiasikan juga adalah Saka pulang pergi untuk bersekolah dengan melintasi
perbatasan Indonesia-Malaysia.
Saran : Saran dari
saya adalah agar Nursaka memfokuskan ke pendidikannya, karena dengan fokus ke
pendidikan, Saka bisa mengejar cita-citanya dan dapat mengubah masa depan
keluarganya menjadi lebih baik dari yang sekarang.
Penulis : Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan
Editor : Caroline Damanik
Kompas.com - 15/09/2018, 13:14 WIB
=== SELESAI ===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar